Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kamis, 28 Mei 2009

Sakit

Aku terasa terbaring mati
Tersibak mulai hilang dalam kebohongan malam
Wajah ku kenal dalam hati samar mulai sirna
Mungkin hanya tuhan bisa buat semua
Tapi mimpi ini sudahlah terlanjur pudar
Terkikis benjanaku yang terlalu murah
Dimata seorang hawa

Aku ini tak bisa lagi berkata apa-apa
Untuk tubuhku didepan kata silsila
Hinakah aku bercinta
Tolong jawablah
Tubuhkuh sudah mengkaku diam

Aku ini sakit
Percayalah, tapi ku ingin berbohong
Hanya untuk secuil senyum dari siapa yang mau mengaku aku
Salahkah, dosakah darah ini berselingkuh pada kebohongan
Aku masih hidup tapi terasa mati
Pergilah, pergilah yang mau pergi
Karena aku tak bisa lagi wujudkan mimpi itu
Bijak katamu semua benar
Semoga kau tak akan lihat Barisan sajak ini
Dan semoga hatimu sedang bergembira
Menjadi gembira buatku, sedikit kupinta
Karena aku ingin tersenyum tulus sbelum kumendiam

cerita situ gintung

Fajar itu,
Di danau setu gintung yang tenang
Ada cerita tentang gundukan batu cadas tua
Merintih tak kuat bercekcok dengan tetangganya
Sudah berpuluhan tahun lamanya menghuni
Di balik lelapnya desa
Kala itu hujan hari demi hari menjadi-jadi
Gundukan batu tak kuat menahan amarah sang karib
Tentang ketidaknyamanan yang selau dikomersilkan
Membugilkan tubuh di balik renta mata sang takdir

Akhirnya tanggul itu jebol
Beratus ratus meter kubik air
menghujani luluhlantahkan isi desa
Berjuta nyawa berteriak tercabut paksa
Kaki-kaki besar berlarian mencari kaki-kaki kecil
Dari dahsyatnya telapak maut
Sekejap hening tanpa suara
Rata tak tertata, setu gintung pun menjadi cerita
Di dalam media masa

Ratusan orang menduyun menghampiri buah tragedi
Mata-mata sepasang mata mendelik
Berpuluh raga terbaring tak berdaya diceraikan nyawa
Tangis sanak meledak sampai singgasana angkasa
ratusan manusia berduyun sibuk
Membantu mempublikasikan ke mata dunia

: Bukan itu kubutuhkan…
teriak sang nyawa
apa ini cara barumu menjadikanku aktris
beriaskan lumpur tergincu amis darah…
aku tak butuh itu saudaraku
tolong carikan aku di balik puing yang membisu
Dikedalaman lumpur menggagu
Di anak-anak sungai sedang mencari ibu
Lalu temukan aku kepada yang mencari

Tolong,
hanya itu permintaanku
sederhana selayaknya kelak nanti kau mati

kenyataanku

Lelah kumenata kenyataan
Kesabaran Nampak lelah tuk mengalah
Aku seakan berdiri diatas altar tak beralas
Pandanganku terjatutuh tapi kenyataan tetap nyata
Tak ada lagi mata tuk menyinggahi air mata
Terlampau jauh mungkin
Bernafas diantara jiwa yang tercabik
Tercambuk tutur katamu disela bungkaman mendaya
Tak ada satu pun isan menginginkan kebenaran tutur katamu tentangku
Kupikir aku senang dengan ku
Kupikir kau juga tak suka
Kau memang cendawa
Merak ati dan mustikus
Tetapi kini kau telah menjadi guru buatku
Bukan kekasihku, mestinya kau tahu tata cara mengajari dan mengasihi
Atau kau telah mati keduanya
Kenyataan yang akan membohongi kenyataan
Dan aku akan menjadi kebohongan tuk diriku

Bidadari

Menangislah Bidadariku
cacatmu ini biarkanlah, lembah disana masih subur
eloknya mentari kan bermanja di balik bukit
biarkanlah pendosa itu menikmati jarum jarum lidah
lafadznya tak akan sampai ke penghuni sorga
tercatat di berita tuhan

Biarkan selendangmu bersemayam di lumbung padi
ada hati menganga minta kau rajut
karena tangismu yang tertahan sangat memilu
sesadar apa tanaman padi di cumbu hama

Bidadariku lupakanlah selendang lusuh itu
terbanglah bersama garuda sampaikanlah ke singgasana angkasa
tentang daratan negri yang menyusut
bukan tergenang lautan ataupun apa
melainkan anak – anakmu sedang belajar menjadi tuhan
menyulap isi menjadi kosong
kosong terbiarkan tak terisi
berolah ria sampai keringat bacin
dan lembah disana perlahan kan sama
jika kau tak singgahkan garudamu
di tanah seribu tuan…

Iblis untuk Iblis

Tanahnya telah terampas dari kesempurnaan
seribu pasung tangan, kaki, badan dan kepala
hingga sampai kedalam hati
dikendalikan lewat mata rantai sirik
yang membelenggu dikedalaman air bacin

Sumpah aku terbuang,
walau aku wara wiri tanpa batas dari nerakaku hingga mantan surgaku
tak ayal jelmaku mampu membuang tanah yang telah sempurna itu

Iblis berbisik ditelinga, mungkin itu musuh buat siapa
tak tahu tanah yang telah tak bertuan ini akan dilumuri apa
karena lebih baik berkencan dulu dengan para iblis
lalu kuceraikan ia di surga…

ha…ha…ha…

Sumpah aku puas lihat kau terbuang
walau aku wara wiri mencumbumu dari nerakamu
hingga ku beri lagi neraka untukmu
lalu kau kuceraikan, karena tak mau ku ajak ke surga
ha…ha… ha…senang ku menjadi iblis untuk iblis

“itulah sifat manusia”

banyu

banyu biru berpasir menyapaku
kristal berkilau sepanjang bibir purnama
tapi ku diami dengan angkuhku
entah kenapa ku biarkan hatiku seperti ini

maaf, sesadar apa pun kau tetap ada dalam banyu itu
walau kenyataan kau akan menghabiskan lahab dataranku
dataranmu,
tapi ku yakin kau tak sepeduli aku
perpisahan ternyata menjadi harga mahal tuk sebuah kenangan
walau ku tersadar airmatamu dahulu pernah membanjiri entah untuk siapa

kenyataan banyu biru berpasang angin melahiri sebuah ombak
membentuki dataran berpasir, dimana dulu kakiku enggan tuk menapak
di pantai itupun bayangmu masih berdiri, bersama jiwa tak bertuan
kasih yang hilang kini ku temui , membayang tak berwujud tapi ku tetap memeluk
untuk air mata yang dulu tak sempat tuk ku tangisi